JAKARTA, POTRETRIAU.com - Pakar Hukum Prof. I Gde Pantja Astawa, menegaskan agar Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak dijadikan sebagai UU 'sapu jagat' dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hal itu diutarakannya saat menjadi saksi ahli di persidangan dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang alih fungsi hutan oleh PT. Duta Palma Group/Darmex Group di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau, dengan terdakwa Surya Darmadi alias Apeng selaku pemilik dari Duta Palma Group dan mantan Bupati Inhu Raja Thamsir Rahman.
"Jadi dalam UU Tipikor pasal 14 secara eksplisit dikatakan, bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran UU pada UU tersebut harus dinyatakan bahwa pelanggaran itu adalah pelanggaran tindak pidana korupsi baru bisa dipidana korupsi. Jika tidak tertuang, jangan jadikan UU Tipikor ini sebagai UU sapu jagat," tegasnya dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (26/1/2023).
Dijelaskannya, jika sebuah perusahaan dinyatakan melanggar UU Kehutanan atau UU Perkebunan pada pelanggaran tersebut harus tertuang ketentuan yang menyatakan perbuatan pelanggaran itu dapat dipidana dengan pidana korupsi, baru perkara pelanggaran tersebut dapat diadili secara Tipikor. Jika tidak maka pelanggaran tersebut harus diselesaikan sesuai ketentuan di dalam UU tersebut.
"Artinya apakah di dalam UU Kehutanan itu disebutkan bahwa penyimpangan atau pelanggaran dalam UU kehutanan adalah tindak pidana korpusi. Kalau tidak ya UU Tipikor tidak bisa digunakan," jelas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung itu.
Sementara dalam UU Tipikor Pasal 14 tertulis: 'Secara eksplisit menyatakan ketentuan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas meyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.'
Selain itu, I Gde Pantja mengatakan, terkait konflik masalah kehutanan, perkebunan dan perizinan di Indonesia, Pemerintah telah menciptakan formulasi penyelesaian melalui UU Cipta Kerja. Dengan tujuan semua badan usaha yang tak kunjung mendapatkan izin usaha meski telah berpuluh-puluh tahun mengusulkan izin tersebut. Sebagai akibat dari konflik tumpang tindih kewenangan dalam pemberian izin berinvestasi, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta lembaga atau kementrian.
Dapat dengan mudah memiliki legalitas perizinan melalui pengusulan ulang perizinan secara administrasi, paling lama 3 tahun setelah UU Cipta Kerja disahkan menjadi UU.
"Atas karut marut masalah perizinan dan dengan fakta yang terjadi sekian puluh tahun, telah terjadi tumpang tindih aturan konflik kewenangan antara daerah dan pusat, yang mengakibatkan terjadinya proses pengurusan izin yang bertele-tele. Maka untuk itu diciptakanlah UU Cipta Kerja ini dalam bentuk Omnibus," ungkapnya.
Tidak sampai disitu saja, sebelumnya I Gde Pantja juga menerangkan dalam hal perizinan, ketika seseorang warga negara Indonesia mengajukan permohonan izin kepada lembaga tertentu dengan segala syarat dan ketentuan telah terpenuhi, namun tak kunjung mendapatkan izin yang dimaksud dari lembaga tersebut, maka pejabat yang menjadi pimpinan di lembaga itu dapat digugat secara hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebaliknya, untuk warga negara Indonesia yang telah mengusulkan perizinan itu dinyatakan tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya di hadapan hukum, apabila terjadi permasalahan hukum bermula dari belum lengkapnya perizinan yang dimiliki.
"Kesimpulannya bukan pemohonnya yang melakukan pelanggaran hukum, tapi pejabatnya yang melakukan pelanggaran hukum dan pejabat ini dapat di PTUN menggunakan pasal 3, karena tidak mengeluarkan putusan yang seharusnya dikeluarkan," terangnya.
Sebelumnya pada perkara dugaan korupsi alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit hingga triliunan rupiah. Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kejaksaan Agung mendakwa bos PT Duta Palma Group/ Darmex Group Surya Darmadi merugikan negara sebesar Rp4.798.706.951.640 (Rp4 triliun) dan US$7.885.857,36 serta perekonomian negara sebesar Rp73.920.690.300.000 (Rp73 triliun).
“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan Raja Thamsir Rachman secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (8/9/2022).
Jaksa mendakwa Surya memperkaya diri sendiri sejumlah Rp7.593.068.204.327 (Rp7 triliun) dan US$7.885.857,36. Perbuatannya itu, kata jaksa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.