PEKANBARU, POTRETRIAU.com - Tim Kuasa Hukum korban kekerasan seksual yang terjadi di asrama mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR), menilai penting untuk menjelaskan kronologi kasus yang menimpa mahasiswa pertukaran pelajar dari Jakarta itu.
Kuasa Hukum Korban, Tegar Putuhena, menjelaskan peristiwa kekerasan seksual yang dialami 14 dan 17 Oktober 2022 lalu. Ia menduga kejadian itu dilakukan oleh dua orang mahasiswa bernama Reza dan satu lagi belum diketahui namanya.
“Akibat peristiwa tersebut, korban mengalami trauma dan segera dievakuasi oleh keluarganya pada 22 Oktober 2022. Selanjutnya, orang tua korban telah mengadukan hal ini kepada pihak kampus melalui dosen psikologi bernama Pak D pada 23 Oktober 2022, kemudian pada 26 Oktober 2022,” jelasnya, Sabtu, 12 November 2022.
“Orang tua korban menghubungi Penanggung Jawab PMM UIR, Respon mereka pada saat itu adalah meminta orang tua korban untuk menghadirkan hasil visum et repertum, baru aduan tersebut bisa ditindaklanjuti oleh kampus,” tambah Tegar.
Ia melanjutkan, berdasarkan permintaan pihak UIR tersebut, korban lantas membuat laporan polisi di Bareskrim Mabes Polri dengan nomor LP/B/0619/X/2022/SPKT/BARESKRIM POLRI pada 27 Oktober 2022. Lanjutnya, kemudian korban melakukan visum et repertum pada hari yang sama.
“Perlu diketahui bahwa visum hanya dapat dilakukan atas perintah penyidik, sehingga mau tidak mau, korban harus membuat laporan polisi demi bisa mendapatkan visum tersebut,” tegasnya.
Tegar mengaku, sebelumnya pihaknya mencoba upaya persuasi, meminta kepada pihak UIR segera merespon peristiwa ini dengan melakukan segala tindakan yang dianggap perlu demi kepentingan terbaik korban. Sayangnya, ia menuturkan, hingga saat ini tak tampak upaya serius yang telah dilakukan oleh UIR.
“Jangankan upaya pengusutan, pendampingan pada korban pun tak kunjung dilakukan. Memang UIR kabarnya telah membentuk satgas untuk pengusutan kasus ini. Korban sempat mendapatkan undangan (melalui WA) untuk pertemuan di Jakarta pada 15 November 2022 mendatang. Namun karena pertimbangan kondisi psikologis korban, kami sampaikan bahwa korban belum bisa dihadirkan dalam pertemuan tersebut,” tuturnya.
“Jadi yang hadir orang tua korban dan kuasa hukum mewakili korban. Namun rupanya, pertemuan tersebut dibatalkan secara sepihak dengan alasan ketidakhadiran korban,” kesalnya.
Sebab itu, Tegar menilai, UIR tidak memiliki perspektif yang baik dalam menangani kasus kekerasan seksual. Keberpihakan pada korban, katanya, sama sekali tidak tampak dalam langkah yang diambil UIR.
“Berdasarkan regulasi yang ada, pihak UIR harusnya memberikan respon cepat dengan sekurang-kurangnya segera memberikan pendampingan kepada korban. Langkah minimal seperti itu saja tidak dilakukan. Menurut kami, pemihakan kepada korban harus memiliki bentuk nyata dalam bentuk pendampingan maupun perlindungan, bukan lip service semata,” tutur Tegar.
Minta Instansi Pendidikan Berpihak pada Korban
Sikap UIR yang dinilai lamban dan tak berpihak pada korban, membuat Tegar selaku Kuasa Hukum Korban meminta agar UIR menunjukkan kesungguhan menegakkan komitmen pemberantasan tindak kekerasan seksual di dalam kampus.
“Salah satunya dengan melakukan investigasi yang menyeluruh, dengan menggunakan metode yang tidak konvensional. Sanksi tegas kepada para pelaku harus segera diberikan untuk membuktikan komitmen tersebut,” pintanya.
Tak berhenti di situ, Tegar juga menyampaikan pihaknya meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan harus segera mengambil langkah evaluatif kepada UIR. Tambahnya, hal itu harus dilakukan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Menteri harus dengan segera memberikan evaluasi berupa sanksi baik secara kelembagaan maupun sanksi individual kepada siapapun yang terbukti baik dengan sengaja atau lalai mengabaikan hak-hak korban kekerasan seksual,” tutup Tegar.***