Alasan Pilpres dan Pileg Digelar Serentak Tahun 2019

Ilustrasi

POTRETRIAU.com - Pesta demokrasi di Indonesia tahun 2019 mendatang akan berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Untuk pertama kali dalam sejarah, Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan diselenggarakan secara serentak pada hari yang sama, 17 April 2019.

Pada tahun 2014, Pileg digelar lebih dahulu pada 9 April 2014 untuk menentukan apakah parta peserta pemilu bisa lolos ke parlemen atau tidak. Selain itu juga untuk menentukan berapa persen suara yang didapatkan masing-masing partai.

Hasil Pileg itu, menjadi landasan untuk menentukan komposisi koalisi partai dalam mengusung calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres yang digelar tiga bulan setelahnya, 9 Juli 2014. Merujuk pada UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres (kini sudah dibatalkan), partai atau koalisi partai bisa mengusung capres-cawapres apabila memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.

Dengan adanya Pemilu serentak 2019 itu, para pemilih nantinya harus mencoblos 5 surat suara sekaligus di bilik suara. Lima surat suara itu untuk memilih anggota DPRD tingkat kabupaten/kota, anggota DPRD tingkat provinsi, anggota DPR, anggota DPD, serta calon presiden dan wakil presiden.

Ilustrasi TPS 1Ilustrasi TPS (Foto:Muhammad Iqbal/kumparan)

Lalu apa yang melatarbelakangi Pemilu tahun 2019 dilakukan serentak?

Hal itu bermula saat akademisi Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak menggugat UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu terregister dengan nomor 14/PUU-XI/2013.

Alasan mereka sederhana, penyelenggaraan pemilu serentak lebih efisien baik dari segi waktu maupun biaya. Berdasarkan perhitungan anggota KPU saat itu, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, yang mereka kutip dalam permohonan, penyelenggaraan pemilu serentak bisa menghemat anggaran Rp 5 sampai Rp 10 triliun.

Sedangkan berdasarkan perhitungan Anggota DPR F-PDIP Arif Wibowo, pemilu serentak mampu menghemat dana sekitar Rp 150 triliun, atau sepersepuluh APBN dan APBD.

Singkatnya, MK mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Majelis hakim MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak.

Sidang MKSidang Mahkamah Konstitusi (Foto:mahkamahkonstitusi.go.id)

Dalam beberapa penjelasannya, Mahkamah beralasan penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg, ditemukan fakta capres terpaksa harus bernegosiasi (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan.

Negosiasi politik itu dinilai lebih banyak bersifat sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.

"Menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang," kata majelis MK dalam putusannya

Selain itu, MK berpendapat penyelenggaraan Pilpres dan Pileg secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya.

"Selain itu, Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat," bunyi putusan MK.

Effendy Gozali di Mahkamah KonstitusiEffendy Gozali di Mahkamah Konstitusi, Senin (6/8). (Foto:Raga Imam/kumparan)

Tak hanya itu, penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 juga dinilai sesuai dengan original intent dan penafsiran sistematik Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”

Menanggapi putusan MK, Effendi merasa bersyukur dan menyambut baik putusan tersebut. Sebab, ia menilai putusan ini lebih menempatkan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi atau golongan.

Akan tetapi ia sempat menyayangkan putusan Pemilu serentak baru dilakukan pada 2019, bukan pada tahun 2014 lalu.

Ilustrasi kampanye hitamIlustrasi kampanye hitam (Foto:thinkstock)

Namun, saat itu MK berpandangan semua tahapan dan persiapan teknis pelaksanaan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan mendekati pelaksanaan. Apabila saat itu pemilu serentak dilakukan tahun 2014, maka akan menganggu pelaksaan Pileg dan Pilpres 2014.

Akibat putusan itu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) langsung menyusun UU Pemilu baru dengan memasukkan ketentuan pemilu serentak.

Setelah melalui proses pembahasan yang alot di DPR, khususnya perdebatan mengenai Presidential Threshold, akhirnya UU Pemilu diketok pada Jumat (27/7) malam. Selanjutnya Presiden Jokowi mengesahkan UU Pemilu tersebut pada 15 Agustus 2017 dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna Laoly sehari setelahnya.

Dengan adanya UU Pemilu tersebut, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres; UU Nomor 15 Tahun 2Ol1 tentang Penyelenggaraan Pemilu; UU Nomor 8 Tahun 2O12 tentang Pileg; Pasal 57 dan Pasal 6O ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


[Ikuti PotretRiau.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar