Tragedi dan Ironi Indonesia di Piala AFF 2018

saat Indonesia vs filipina

POTRETRIAU.com – "Kami mau adanya perubahan. Suporter butuh prestasi." Begitu kata penonton yang menyaksikan langsung laga Timnas Indonesia versus Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Minggu 25 November 2018.

Ya, Indonesia gagal lagi di Piala AFF 2018. Ambisi juara tak kunjung terealisasi hingga sekarang.

Di edisi 2018, Indonesia bahkan tak sampai ke semifinal. Langkah mereka terhenti di fase grup.

Lebih menyakitkan, Indonesia harus tersingkir ketika penyisihan grup masih tersisa satu pertandingan lagi.

Pun, Indonesia menutup turnamen dengan hasil yang tak memuaskan. Menghadapi Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Minggu 25 November 2018, Indonesia hanya mampu main imbang 0-0.

Sama saat menghadapi Singapura, permainan Indonesia kurang menggigit. Di babak pertama, Indonesia tampil kurang maksimal.

Permainan umpan panjang kerap keluar. Ada perubahan di babak kedua. Serangan Indonesia terlihat lebih tajam. Tapi, tetap saja skuat Garuda kesulitan menembus pertahanan Filipina.

Sebaliknya, Filipina justru beberapa kali hampir menjebol gawang Indonesia. Beruntung, Andritany Ardhiyasa tampil apik di bawah mistar gawang Indonesia. Hingga akhirnya, Pasukan Garuda mengakhiri kiprah di Piala AFF dengan hasil imbang, 0-0.

Dengan torehan ini, Indonesia mengakhiri Piala AFF 2018 dengan menduduki peringkat keempat Grup B dengan torehan empat poin.

Ini menjadi kegagalan keempat Indonesia melaju ke semifinal Piala AFF. Catatan buruk yang sama sempat ditorehkan pula pada 2007, 2012, dan 2014.

Namun, yang menjadi begitu menyakitkan adalah fakta di mana Indonesia sudah tersingkir saat penyisihan grup masih menyisakan satu pertandingan lagi. Inilah catatan terburuk Indonesia sepanjang sejarah keikutsertaan di Piala AFF.

"Sangat sedih rasanya. Rekan-rekan juga. Banyak curhatan yang isinya adalah, sayang cuma sampai sebatas ini. Para pemain sebenarnya mau lebih lama dan melangkah jauh," kata winger Indonesia, Andik Vermansah, usai laga.

Kegagalan menutup Piala AFF dengan kemenangan dikomentari Andik. Meski tak menang, Andik merasa begitu bangga dengan permainan Indonesia.

"Sudah tahu tak lolos, pemain tetap kerja keras demi meraih kemenangan. Jujur, saya melihat perkembangan tim ini lebih baik dari sebelumnya," terang Andik.

Salah Bima?

Tagar #BimaOut kerap mengiringi perjalanan Indonesia di Piala AFF 2018. Suporter merasa tak puas dengan kinerja Bima bersama Indonesia.

Itu sudah terlihat sejak dia menemani Indonesia di pertandingan pertama melawan Singapura. Dominan, tapi Indonesia tak menggigit.

Alhasil, Indonesia malah kalah dari Singapura dengan skor 0-1. Inilah titik baliknya.

Lewat media sosial, Bima dihujat suporter. Banyak yang merasa Bima tak punya kapasitas dan pengalaman yang cukup untuk menangani Hansamu Yama Pranata.

Laga kedua, Indonesia menang atas Timor Leste. Namun, secara permainan, Pasukan Merah Putih sama sekali tak memuaskan.

Permainan terbaik justru ditunjukkan Indonesia di laga lawan Thailand. Meski sempat unggul lebih dulu, Indonesia akhirnya kalah dengan skor 2-4.

Di partai terakhir melawan Filipina, permainan Indonesia juga masih jauh dari harapan. Tak menggigit dan susah menciptakan peluang. Sibuk sekali menembus pertahanan Indonesia. Apakah ini salah Bima?

Bijaknya, suporter jangan langsung menghakimi Bima. Lihat dulu, dari berbagai sisi.

PSSI menunjuk Bima dengan alasan sudah paham dengan filosofi dari Luis Milla Aspas. Keputusan PSSI menunjuk Bima lah, yang harus dipertanyakan.

Sebab, belum tentu juga Bima memahami secara menyeluruh program Milla di Indonesia. Perlu waktu lebih lama dan jam terbang tinggi untuk membuat Bima lebih matang.

Bima Sakti Tukiman

"Ibaratnya, saya ini anak SMP. Tapi, dapat ujian soal universitas," kata Bima.

"Kontrak saya cuma sampai Piala AFF, sebab memang meneruskan apa yang sudah sejak lama dibangun Luis Milla. Setelahnya, saya serahkan ke federasi. Saya bersyukur dan begitu beruntung," lanjutnya.

Beberapa pemain yang bekerja dengan Bima memiliki pendapat berbeda dengan suporter. Andik salah satunya.

Menurut Andik, kinerja Bima sudah bagus. Hanya saja, Bima butuh waktu yang lebih lama untuk menangani Indonesia.

"Sebenarnya, kinerja Bima sudah bagus. Hanya saja, kurang lama. Jujur, bukan alasan. Tak bisa dimungkiri, permainan para pemain sudah meningkat. Soal Bima dipertahankan, semua pasrahkan saja. Tapi, saya nyaman dengan Bima," terang Andik.

Ayo PSSI, Bertaubat

PSSI sudah seharusnya introspeksi diri. Kegagalan Indonesia di Piala AFF terpengaruh juga dengan kinerja federasi.

Performa Indonesia yang buruk di Piala AFF kali ini juga terpengaruh dengan karut marut dalam pengelolaan sepakbola nasional. Ada tabrakan jadwal antara kompetisi dengan kepentingan Timnas.

Dan, semua berawal dari restu PSSI kepada operator menggelar kompetisi bersamaan dengan Piala AFF.

Sebuah tradisi aneh yang tak kunjung diakhiri oleh Indonesia. Sadar atau tidak, ada pengaruh yang ditimbulkan.

Dari sisi fisik, kebugaran, dan psikologis, pemain pastinya merasakan kejenuhan. Kelelahan pula, bisa mereka rasakan karena tak ada jeda efektif usai mereka membela klub untuk selanjutnya berkiprah bersama Timnas.

Negara peserta lainnya sudah mengakhiri kompetisi lebih cepat. Pemain jadi lebih segar dan bisa berkonsentrasi penuh ke Timnas, tak pikirkan klub sama sekali.

Cacian pun datang dari suporter. Lewat sosial media, mereka menumpahkan kekesalannya terhadap PSSI dan operator terkait situasi ini.

Kemudian, sejak awal tahun, PSSI memang terlihat tak jelas targetnya di Piala AFF. Mereka tampak lebih fokus untuk menyiapkan tim di Asian Games 2018.

Dan, kalau memang serius, mengapa Milla tak sejak awal diperpanjang kontraknya? Mengapa satu atau dua bulan sebelum Asian Games dimulai, Milla tak disodorkan tawaran perpanjangan kontrak?

Pertanyaan ini wajar mengemuka. Sebab, federasi di Eropa, yang lebih mapan, selalu bertindak seperti itu.

Milla dipertahankan, bisa jadi Indonesia lebih garang. Fondasi sudah kuat, hanya tinggal meneruskan dan mengombinasikan pemainnya saja.

"Digantinya Luis Milla Aspas terbukti jadi masalah," ujar salah seorang suporter Indonesia asal Pekalongan, Yanto.

Suporter mulai tak sabar. Ya, memang dan sudah terlihat saat mereka datang ke SUGBK demi menonton laga Indonesia versus Filipina.

Spanduk bernada sindiran ke Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, terbentang. "Wartawannya baik, Timnasnya baik," begitu isi spanduknya.

Spanduk sindiran untuk PSSI di laga Indonesia versus Filipina

Isi spanduk ini, disebut Yanto, terilhami dari ucapan kontroversial Edy saat ditanya wartawan soal prestasi Indonesia di Piala AFF. Kala itu, jawaban Edy adalah, "Kalau wartawannya baik, Timnasnya baik."

Entah apa hubungannya. Wartawan sepakbola, memang memiliki tugas untuk mengkritisi kinerja Timnas, PSSI, kompetisi, hingga klub.

Ada yang tak beres, maka jadi tugas wartawan pula untuk melontarkan kritik. Ini semua juga demi kepentingan dan kebaikan sepakbola nasional.

"Tulisan ini (di spanduk) memang dari ucapan Ketum PSSI. Kami mau PSSI berbenah," tegas Yanto.

Kinerja PSSI, sebagai otoritas tertinggi sepakbola Indonesia, diakui anggota Komite Eksekutif, Gusti Randa, sedang disorot. Gusti menyatakan saat ini PSSI mendapatkan sorotan dari berbagai penjuru.

"Tak bisa kami hindari, PSSI dapat atensi negatif dari empat arah mata angin. Dari kiri-kanan, media pun menekan ini. Nah, bagaimana PSSI sekarang? Harus punya sikap. Apa? Pertama, mbok ya misal Ketum beri pernyataan jangan blunder," ujar Gusti.

Kini, bergantung kepada PSSI lagi, mau bersikap apa mereka? Benar di 2018, prestasi Timnas usia dini sedang menanjak. Tapi, ingat, indikator utama keberhasilan sebuah federasi adalah prestasi di level senior.


[Ikuti PotretRiau.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar