Eks Petinggi WHO Minta Pemerintah Indonesia Tegas Terkait Vape

Ilustrasi

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendesak semua negara untuk melarang vape atau rokok elektrik. Dampak buruk dari vape menjadi alasan utamanya.

Eks petinggi WHO Prof Tjandra Yoga Aditama pun meminta secara khusus kepada pemerintah Indonesia untuk serius menanggapi isu vape atau rokok elektrik ini.

"Mengingat dampak rokok elektrik (vape), maka tentu perlu ada aturan tegas dan tepat yang perlu diterapkan di Indonesia, berdasarkan bukti ilmiah serta bertujuan demi perlindungan kesehatan masyarakat," kata Prof Tjandra yang dilansir dari Okezone.com, Sabtu (30/12/2023).

Dalam penjelasannya, Prof Tjandra membuka data hasil survei 'Global Adult Tobacco Survey' (GATS) tahun 2021, menunjukkan bahwa prevalensi perokok elektrik atau pengguna vape di Indonesia angkanya naik.

Di 2011 pengguna vape sebanyak 0,3 persen, lalu pada 2023 angkanya sudah di 3 persen. "Angka itu setara 6,2 juta orang perokok elektrik, terdiri dari 5,8% laki-laki dan 0,3% perempuan," paparnya.

Dijelaskan Prof Tjandra, rokok elektrik atau vape mengandung nikotin yang mana itu jelas bersifat adiktif dan berbahaya bagi kesehatan.

"Walau pun memang dampak jangka panjangnya belum sepenuhnya diketahui, tetapi WHO menyebutkan vape dapat menghasilkan bahan berbahaya yang sebagian mungkin dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan paru," terangnya.

"Vape juga punya kemungkinan mempengaruhi perkembangan otak serta mungkin akan mempengaruhi janin dalam kandungan," tambah Prof Tjandra.

Sebelumnya, WHO tegas melarang vape juga berkaitan dengan pengguna anak-anak yang terus meningkat secara global.

WHO menyebut bahwa rokok elektrik atau vape itu menyasar pasar anak-anak dengan menggunakan media sosial dan para 'influencer'. Selain itu, karakter kartun yang menarik juga menjadi alasan banyak anak-anak tertarik pada vape.

"Paparan konten vape di media sosial dapat berhubungan dengan peningkatan keinginan membeli dan membentuk perilaku positif terhadap vape. Ini tentu saja hal yang sangat tidak dibenarkan," kata Prof Tjandra.


[Ikuti PotretRiau.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar