Kontroversi Kebijakan Cukai Plastik

JAKARTA, POTRETRIAU.com - Kebijakan pemerintah memberlakukan cukai terhadap produk plastik membuat gempar kalangan dunia industri dan perdagangan. Pengusaha menilai pengenaan cukai plastik akan menambah biaya produksi dan berdampak pada kenaikan harga jual. Sementara, pemerintah berpandangan cukai plastik memiliki misi mulia untuk mewujudkan lingkungan Indonesia yang lebih baik. Sebenarnya, apa urgensi pengenaan cukai plastik?

Darurat Sampah Plastik

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari 100 toko/gerai anggota APRINDO selama 1 tahun menghasilkan 10,95 juta lembar sampah kantong plastik atau seluas 60 kali lapangan sepakbola. Indonesia Solid Waste Association mengungkapkan, jumlah produksi sampah plastik Indonesia sekitar 5,4 juta ton per tahun. Hal ini akan menjadi bom waktu bagi anak cucu kita.

Pada 2010, Universitas Indonesia pernah membuat kajian tentang sampah kantong plastik di tempat pembuangan akhir Bantar Gebang, Bekasi. Hasilnya cukup mencengangkan, 17% dari sampah yang ada merupakan sampah plastik. Dari total sampah plastik tersebut 62% di antaranya adalah sampah kantong kresek. KLHK menjadikan kajian ini sebagai dasar penerapan kebijakan plastik berbayar Rp 200 per kantong pada 2016 silam. 

Pada praktiknya kebijakan tersebut tidak berjalan efektif karena tidak mempunyai dasar hukum kuat (hanya berupa Surat Edaran Menteri KLHK), dan sikap mayoritas konsumen yang cenderung tidak mempermasalahkan pengenaan biaya kantong plastik. Kebijakan kantong plastik berbayar juga dinilai hanya menambah pundi-pundi pendapatan perusahaan ritel, dan tidak sepeser pun masuk ke penerimaan negara. 

Barang Kena Cukai

UU 39 Tahun 2007 tentang Cukai mengatur empat kriteria barang yang dapat dikenakan cukai, yaitu memiliki sifat dan karakteristik yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan, serta pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Berdasarkan UU tersebut, plastik memenuhi karakteristik cukai karena memiliki dampak negatif bagi lingkungan. 

Saat ini pengenaan cukai di Indonesia masih terbatas pada tiga jenis barang, yaitu etanol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Sangat jauh apabila kita bandingkan dengan Barang Kena Cukai (BKC) negara lain, Singapura misalnya terdapat 33 jenis BKC. Adapun pengenaan cukai plastik telah diterapkan di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, Asia dan Oceania. Berdasarkan hal tersebut, sejak 2010 pemerintah telah melakukan kajian terkait penambahan BKC baru, termasuk di antaranya adalah plastik. 

Dua Sisi Cukai Plastik

Pengenaan cukai plastik bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi cukai plastik berpotensi memicu inflasi karena harga jual produk yang menggunakan kemasan plastik akan meningkat. Berdasarkan kajian Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen Universitas Indonesia, apabila harga makanan dinaikkan 1% maka akan terjadi penurunan permintaan sebesar 1,7%. 

Cukai plastik sangat rentan berdampak kepada pengusaha kecil dan menengah karena memicu kenaikan biaya produksi. Selain itu, pengenaan cukai plastik dikhawatirkan dapat mengganggu iklim investasi, terutama di sektor industri yang menggunakan kemasan plastik. 

Di sisi lain keberadaan cukai plastik dinilai penting untuk menjaga kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan dari dampak yang ditimbulkannya. Kebijakan cukai plastik sangat mendesak untuk diterapkan. Hal ini mengingat karakteristik plastik yang merupakan produk serbaguna, ringan, fleksibel, tahan kelembaban, kuat, dan relatif murah, menjadikan plastik dengan cepat menjelma menjadi material favorit di masyarakat. 

Penggunaan produk plastik berbanding lurus dengan dampak negatif yang ditimbulkan. Mulai banyaknya sampah hingga kandungan zat beracun berbahaya dalam zat pewarna plastik seperti Bisphenol A (BPA). Sampah plastik juga membutuhkan waktu ratusan tahun agar dapat terurai dengan sempurna. Apabila tidak dikendalikan jumlahnya, sampah plastik dikhawatirkan akan semakin mengganggu kelestarian lingkungan. 

Menurut Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim dalam National Geographic, sampah merupakan penyebab perubahan iklim kedua setelah kerusakan hutan. Sampah yang dibiarkan membusuk akan menghasilkan gas metana, salah satu gas yang diyakini ilmuwan menjadi penyebab pemanasan global.

Solusi atas Cukai Plastik

Potensi penerimaan negara yang diperoleh dari cukai plastik juga cukup menggiurkan. Sebagai gambaran dalam APBN 2018, target penerimaan cukai plastik diplot cukup ambisius sebesar Rp 500 miliar. Namun, pemerintah perlu melakukan kajian yang mendalam sebelum cukai plastik benar-benar diterapkan. Beberapa hal perlu menjadi fokus perhatian pemerintah apabila cukai plastik pada akhirnya diterapkan. 

Pertama, perlu dibuat dasar hukum pungutan cukai plastik, mengingat dalam UU 39 Tahun 2007 hanya tiga jenis BKC. Selain itu, perlu diatur terkait kewajiban perusahaan penghasil sampah plastik agar memiliki blue printpengelolaan sampah yang baik, dan standarisasi plastik bagi produsen plastik, misalnya terkait pembatasan ketebalan, bahan yang digunakan, dan jumlah maksimal produksi yang diperbolehkan. 

Kedua, hasil penerimaan cukai plastik harus secara transparan dipublikasikan dan muaranya harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk insentif manajemen pengelolaan sampah. Ketiga, perlu peningkatan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya dampak sampah plastik dan pengelolaan sampah masyarakat. Keempat, pemerintah perlu memberikan insentif kepada pengusaha guna mendorong produksi plastik ramah lingkungan dan peningkatan teknologi produksi plastik yang biodegradable (plastik yang lebih ramah lingkungan). 

Kelima, penetapan besaran tarif cukai plastik perlu mempertimbangkan dampak terhadap kemampuan daya beli masyarakat dan investasi. Keenam, pemerintah harus mendorong UMKM mencari dan menciptakan alternatif barang pengganti plastik yang kreatif, seperti tas kain dan tas berbahan kertas. Ketujuh, pemerintah perlu mendorong penggunaan sampah plastik menjadi barang yang unik dan kreatif serta layak jual untuk mendorong ekonomi kreatif.
 


[Ikuti PotretRiau.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar