Ketua Umum Ikami Sul-Sel Cabang Inhil Dukung masyarakat Melayu Pulau Rempang, Walikota Kepri Wajib Minta Maaf

POTRETRIAU.com - Pulau Rempang yang terletak di wilayah Kota Batam menjadi saksi dari aksi kekerasan yang menimpa masyarakat di sana. Insiden kemarin menjadi catatan kelam bagi institusi Polri terkait pengamanan konflik agraria di Pulau Rempang 

Ucap Husaini kami akan Lakukan aksi Serempak di kota Batam dan kejakarta menyampaikan aspirasi Masyarakat Ke Kapolri dan Kekecewaan kepada Kapolda Kepri serta Kapolres Barelang yang sangat tidak manusiawi 

Oleh karena itu, kata Husaini  ketua umum ikami sul-sel Cabang inhil  meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memindahkan Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau (Kapolda Kepri) dan Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Barelang atas kegagalan dalam menjalankan tugas pengamanan dan penertiban di Pulau Rempang yang mengakibatkan Masyarakat dan anak anak banyak Terluka 

dalam pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,” ucapnya.

“Namun, bentrok antara warga dan aparat kepolisian yang terjadi di Pulau Rempang kemarin tampaknya melenceng dari tugas pokok tersebut. 

, sejumlah warga warga mengalami luka-luka dan anak-anak sekolah pingsan akibat tembakan gas air mata yang dilontarkan oleh aparat di dekat SMPN 22 Rempang, Batam. Insiden ini tidak hanya menghentikan proses belajar mengajar, tetapi juga menimbulkan kepanikan di antara guru dan siswa-siswi.

Selain itu, ikami sul-sel Cabang inhil juga meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas untuk segera mengusut dugaan pelanggaran HAM terkait penggusuran paksa kepada masyarakat Melayu yang bermukim di Pulau Rempang.

16 kampung terancam penggusuran setelah pemerintah menetapkan Pulau Rempang sebagai kawasan ekonomi baru di Indonesia.

Masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Eco City. Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mereka dengan tegas menolak wilayah tersebut direlokasi

Proyek senilai Rp381 triliun ini, memaksa masyarakat pindah, karena wilayah proyek tersebut sampai ke kampung-kampung yang telah dihuni Masyarakat sejak ratusan tahun lalu tersebut.


[Ikuti PotretRiau.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar