Diskusi Publik Partisipasi Politik Perempuan untuk 2024

INHIL, POTRETRIAU.com - Pemilihan Umum akan dilaksanakan pada 14 Februrari 2024, suasana pemilu pun sudah mulai terasa. Bermacam isu pun mulai bermunculan. Yang patut diperhatikan, dan menjadi salah satu fokus kita yaitu isu-isu Perempuan. Tampaknya Keseimbangan gender belum terpenuhi. 

Meskipun ada regulasi mengenai 30 persen, tetapi keterwakilan perempuan dalam peta perpolitikan nasional masih minim. Sejumlah pihak mendorong Keikutsertaan Kaum Perempuan pada Pemilu 2024. 

Perlu diketahui dan mengetengahkan isu ini dengan melihat berbagai perspektif yang berkembang dan dari sudut pandang yang berbeda agar dapat membuka pola pikir, terutama pola pikir perempuan terhadap pentingnya Partisipasi Politik Perempuan untuk mendorong perempuan berpartisipasi dalam Pemilu 2024 guna memenuhi keseimbangan kebijakan Gender. 

Diskusi Publik menjadi wadah untuk memberikan pemahaman, membuka pola pikir, memberikan pandangan, dan melihat perspektif lain agar dapat menarik suatu kesimpulan yang memang benar harus di lakukan. 

Acara Diksusi Publik Tentang Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2024 mengangkat Tema _"Partisipasi Politik Perempuan Untuk Pemilu 2024", dengan mengundang beberapa narasumber yang ahli dalam bidangnya untuk membahas ini, yaitu Hj. Hasni Novriani, S.E., M.Si (anggota KPU INHIL), Titin Triana, SH, MH (Pegiat Literasi), Musdalifa, SE., M. Ak (Anggota Panwaslu Kecamatan Tembilahan), dan Kusmely, S. Pd (Wasekum KOHATI PB HMI). Dalam diskusi publik, peserta dapat menyampaikan pendapat, bertanya, dan bertukar pikiran.

Narasumber Pertama Hj. Hasni Novriani, S.E., M.Si menyampaikan keterlibatan perempuan dalam institusi politik dijamin oleh kebijakan afirmatif yaitu undang-undang no 7 tahun 2017 dan terbukti sejak adanya kebijakan afirmatif peningkatan jumlah keterwakilan perempuan baik legislatif maupun penyelenggara pemilu naik, walau masih belum berimbang dengan jumlah laki laki.

 "Keterlibatan perempuan dalam institusi politik di jamin oleh kebijakan afirmatif yaitu Undang undang no 7 tahun 2017 yang di dalamnya jg mengatur tentang pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif dan penyelenggara pemilu. Hal ini terbukti sejak adanya kebijakan afirmatif di iringi pula dengan meningkatnya jumlah keterwakilan perempuan baik sebagai anggota legislatif maupun sebagai penyelenggara pemilu meskipun jika di bandingkan dengan jumlah laki laki masih belum berimbang.

 

Tentunya ini masih menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan untuk bisa ikut terlibat dan mengambil bagian  dalam Pemilihan Umum Tahun 2024." Ujarnya.

Selanjutnya narasumber kedua Titin Triana, SH, MH menyampaikan pentingnya kaum perempuan untuk mendukung, memotivasi dan menginspirasi sesama perempuan. Serta juga perlunya pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan politik.

 "Pada dunia Kepemimpinan meskipun perempuan yang memiliki kemampuan yang tidak kalah dari laki laki akan tetapi mereka enggan tampil di publik, belum bisa menerima kelompoknya untuk menjadi pemimpin, cenderung menghindari tantangan tanggung jawab yang lebih besar dan dimata kaum laki-laki mereka masih sering dipertanyakan dan diragukan Kepemimpinannya.

Penting bagi seluruh perempuan di seluruh Indonesia untuk mendukung, memotivasi dan menginspirasi sesama kaum perempuan. Kuota 30% keterwakilan perempuan jangan hanya menjadi pemanis saja, diperlukan pengetahuan, pemahaman, keterampilan politik, bagi kaum perempuan sehingga ketika duduk di kursi-kursi kekuasaan akan lahir kebijakan-kebijakan yang lebih responsive, dan humanis" Ucapnya.

Narasumber ketiga Musdalifa, SE., M. Ak selanjutnya menyampaikan sebagai pemilih perempuan harus cerdas dalam menentukan pilihan untuk mewakili menyampaikan aspirasi dan pembuat kebijakan di legislatif. Sebagai peserta perempuan terlibat bukan karena sebagai pelengkap saja, tetapi karena kemampuannya dalam berpolitik. Dan sebagai penyelenggara, perempuan harus menjaga integritasnya dan kode etiknya sebagai penyelenggara.

"Berbicara peran perempuan dalam pemilu artinya melihat peran perempuan baik sebagai pemilih, peserta maupun sebagai penyelenggara. Sebagai pemilih tentunya seorang perempuan harus cerdas dalam memilih calon calon yg akan mewakili menyampaikan aspirasi dan pembuat kebijakan di legislatif. Sebagai peserta, tentunya perempuan harus terlibat bukan karna sebagai pelengkap saja, tapi keterlibatan perempuan dengan kemampuannya dalam berpolitik. Dan sebagai penyelenggara, perempuan harus memastikan dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara tetap menjaga integritas dan kode etik. 

Kouta 30% merupakan tantangan dan peluang agar perempuan dapat memenuhi Kouta afirmatif dan tentunya diimbangi dengan peningkatan kapasitas diri dan menjamin agar tidak mudah terpapar politik transaksional". Jelasnya

Selanjutnya narasumber terakhir Kusmely, S. Pd menyampaikan dalam negara yang menganut sistem nilai patriarki, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena pandangan masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias ke arah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga. 

Lalu faktor selanjutnya kemampuan intelektual saja tidak cukup untuk perempuan maju caleg, diperlukan dukungan finansial.

"Dalam konteks budaya yang ada di Indonesia masih terlalu kental dengan asas budaya patriarkinya. Pandangan yang ada di nalar masyarakat bahwa politik itu untuk laki-laki, dan tidaklah pantas bagi perempuan untuk terlibat menjadi anggota parlemen. Dan yang kedua, dalam terjun ke dunia politik, kemampuan intelektual yang harus dimiliki oleh caleg perempuan saja tidak cukup. Karena dalam hal ini perempuan lemah secara finansial. Untuk itu harus didukung oleh partai dan pemerintah. Karena tak bisa di pungkiri bahwa Pemilu memiliki indikator berbiaya tinggi di Indonesia" Jelasnya.


[Ikuti PotretRiau.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar